Selasa, 26 Oktober 2010

Hukum Kewarisan

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Pengertian Kewarisan Al - irts dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari kata waratsa ( ورت ) , yaritsu , irtsan yang secara etimologi berarti perpindahan harta milik atau perpindahan harta pusaka kepada orang lain sesudah seseorang itu meninggal dunia. Seperti yang di ungkapkan oleh Abu Luis al-Ma’Luf ا نتقل ا ليه ما ل فلا ن بعد وفا ته Menurut Muhammad Ali al-SHabuni; ا نتقال الشئ من شخص أو من قوم الى قوم Berpindahnya sesuatu dari seorang kepada orang lain atau dari suatu kaum ke kaum lain. Kata waris ورث itu sendiri mempunyai makna yang umum dan luas sebagaimana Nabi Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud serta mewarisi ilmu pengetahuan dan kitab Zabur yang diturunkan kepadanya kepadanya yang di ungkapkapkan dengan kalimat waratsa yang terlihat pada surat an-namal ayat 16 : “Dan sulaiman telah mewarisi daud.. Dalam ungkapan yang berbeda wahbah zuhaili menyatakan bahwa kewarisan secara bahasa adalah : peniggalan seseorang setelah meninggal dunia kepada orang lain, yang peninggaan itu bias di ambil oleh orang yang masih hidup setelah terjadi kematianl . Maksudnya Berpindahnya sesuatu dari manusia kepada orang lain seperti berpindahnya harta kepada ahli waris setelah terjadi kematian. Setelah terjadi kematian baik berupa harta, ilmu, keluhuran ataupun kemuliaan. Adapun pengertian al-irts menurut terminologi, dikemukakan oleh para ulama adalah : Perpindahan hak milik dari si mayat kepada ahli waris yang masih hidup, baik peningalan itu berupa harta, barang tidak bergerak, atau berbentuk hak-hak syar’iyyah . Dalam redaksi yang lain disebutkan : Menggantikan kedudukan si mayat dalam mmiliki harta, dan mengambil mamfaat. Sementara itu juga disebutkan bahwa pengertian al-irts adalah: Hak yang diterima ahli waris untuk mengambil bagianya yang telah ditetapkan setelah kematian si pewaris. Hal tersebut karena kekerabatan,perkawinan atau wala’. Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa kewarisan atau al-irits pada prinsipnya adalah suatu proses peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup disebabkan karena kekerabatan, perkawinan dan wala’. Ada yang membedakan seperti uang dan benda yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sebagainya. Syar’I yang dapat diwarisi seperti hak khiyar, hak sufah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan. Sebagai mana yang telah dijelaskan bahwa harta baru dapat diwarisi apabila orang yang punya harta tersebut meninggal dunia. Meninggalnya seseorang pewaris dapat dibagi kepada dua bentuk. Pertama, mati hakiki yaitu meninggal dengan menghembuskan nafas terakhir dan disaksikan secara nyata. Kedua, mati hukmi (menurut putusan hakim) seperti seseorang yang hilang (mafqud) atau menghilang dalam waktu yang sudah begitu lama dapat diputuskan hidup atau matinya oleh hakim. Apabila alternatife ini tidak terpenuhi maka seseorang pewaris masih dapat dinyatakan sebagai orang yang masih hidup. Dalam ushul fiqih hal yang seperti ini disebut istishab. Sifat ini masih tetap melekat pada orang hilang sampai ada indikator atas kematianya. Oleh karena itu sebelum jelas tentang hidup atau matinya maka harta tersebut belum bisa dikatakan sebagai harta warisan. B. Dasar Hukum Kewarisan Hukum kewarisan islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat dari firman Allah SWT dalam al-Qur’an dan beberapa ucapan dan perbuatan nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya. Adapun ayat-ayat yang mengatur tentang hukum kewarisan adalah : 1. An-Nisa ayat 7 Artinya ; “ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan. 2. An-nisa ayat 11 Artinya; “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sedangkan hadist nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan hukum kewarisan adalah 1. Dari ibn abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Dari ibn Abbas ra, dia berkata, Rasulullah saw bersabda ; berikan faraid (bagian yang telah ditentukan dalam al-Qur’an) kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat, (Muttafaq alaih) 2. Dari Usamah dengan riwayat Muttafaq alaih Dari usamah bin zaid bahwa nabi saw bersabda: tidak mewaaarisi orang muslim terhadap orang kafir dan tidak pula orang kaaafir mewarisi orang muslim”(hadis riwayat muttafa) C. Rukun Kewarisan 1. Waris a. Ash -Shabuny mengemukakan pengertian waris : Waris adalah orang yang mempunyai pertalian dengan orang yang meninggal dengan salah satu sebab-kewarisan Sementara sayyid sabiq mengemukakan pengertian waris sebagai berikut: Waris adalah orang yang mempunyai hubungan debgab simayat deban salah satu sebab dari sebab kewarisan Zakaria al al-bardisi mengemukakan pengertian waris sebagai berikut: Waris adalah setiap pribadi yang berhubungan dengan orang yang meningggal dengan sebab hubungan kekerabatan,perkawinan, memerdekakan budak atau perwalian. Dari pengertian waris yang dikemukakan oleh para ulama di atas dapat dipahami bahwaa waris adalah orang yang msih hidup yang mempunyai hubungan dengan orang yang meniggal, sebagai sebab mendapatkan kewarisan baik dalam bentuk hubungan karena kekeerabatan, perkawinan atau memerdekakan budak. 2. Pewaris (muwarits) Dalam hukum kewarisan islam pewaris itu disebut juga dengan muwarits ( ), yaitu isim fa’il dari warratsa ( ), yaitu: (muwarits) adalah orang yang betul-betul meninggal dunia atau yang meninggal berdasarkan putusan hakim. Muwarits adalah pemilik harta yang yang sah yang meninggal dunua baik bai secara haqiqi yaitu mati dalam kenyataan sebenarnya dengan berpiasahnya ruh dengan jasadnya. Sedangkan mati menurut hokum adalah mati yang ditetapkan berdasarkan ketetapan pengadilan. Hal ini bias karena seseorang tidak diketahui lagi keberadaanya dan tidak ada indikasi tentang hidupnya. 3. Mauruts Mauruts disebut juga dengan istilah tirkah atau dengan istilah mirats yaitu harta yang yang ditinggalkan mayat (orang yang meninggal dunia. Mauruts merupakan jamak dari mirats yaitu (harta) yang ditinggalkan mayat yang dapat diwarisi oleh orang lain(ahli waris). Antar tirkah dan mirats dipandang sinonim oleh Muhammad makluf. Sementara itu badran berpendapat bahwa mirats menurut terminology adalah : hak yang dapat dibagi yang tetap menjadi hak orang yng berhak (ahli waris) setelah pewaris meninggal dunia. Menurut ulama hanafi tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan mayat, berupa hatra yang bersih dari hak orang lain. Menurut syafi’iyah, tirkah adalah segala kekayaan, baik berupa harta ataupu hak yang dimiliki sebelum dan setelah mati. Ulama hanafiyah mendefinisikan tirkah dengan hak yang berpindah dari orang yang meninggal dunia. Ulama malikiyah mendefinisikan tirkah dengan hak yang dapat di bagi dan diterima oleh orang yang berhak sesudah pemiliknya meninggal dunia Meskipun ada ulama yang menyamakan pengertian mauruts dengan tirkah namun ada pula yang membedakanya. Perbedaan tersebut dari segi harta bersih atau harta yang dipandang tidak bersih. Hanafiyah berpendapat bahwa tirkah adalah harta yang bersih sedangkan mauruts adalah harta yang masih kotor. Sebaliknya syafi’iyah, hanabilah dan malikiyah berpendapat bahwa antara tirkah dan mauruts adalah sinonim dan hak yang akan diterima si mayatpun dikategorikan ke dalam tirkah. Dari pengertian di atas, dipahami bahwa tirkah (harta peninggalan) itu lebih umum dari mirats mauruts (harta warisan), yaitu bahwa harta warisan adalah harta peninggalan yang dapat di bagi-bagi di antara ahli waris tanpa ada sangkupautnya dengan dengan hak yang lain. Sedangkan tirkah atau hartaa peninggalan itu adalah semua harta yang ditinggalakan oleh pewaris yang masing ada sangkutpautnya dengan hak orang lain. Argumentasi yang dikemukakan adalah dengan memahami ayat al-quran yang menetapkan hukum kewarisan, yang mana untuk harta warisan digunakan “ "ماatau apa-apa yang ditinggalkan si meninggal, yang terdapat dalam surat an-nisa ayat 7,11,12,33 dan 176 sebagaimana yang telah disebutkan pada pasal sebelumnya. Dalam bahasa arab lafaz ”"ما disebut mausul yang hubungannya dengan maknanya mengandung pengertian umum. Maka pengertian ما segala sesuatu yang ditinggalkan secara umum. Bahwa tidak keseluruhan apa-apa yang ditinggalkan itu menjadi hak ahli warisnya, sebab dikaitkan pelaksanaan pembagian warisan kepada beberapa tindakan pendahuluan seperti dalam ayat tentang pembayaran utang simayat dan wasiatnya. Dengan demikian dapat dikaitkan bahwa harta warisan atau mirats itu adalah sebahagian hak atau harta yang berada dalam seluruh harta peninggalan atau tirkah. Dengan melihat kepada kata-kata yang dipergunakan Allah untuk harta warisan adalah apa-apa yang ditinggalkan (semua yang ditinggalkan) dihubungkan dengan keumuman ayat itu, maka yang ditinggalkan oleh pewaris adakalanya berbentuk benda dan adakalany berbentuk hak. Harta warisan yang berupa benda lazimnya terdiri dari benda yang berwujud, baik bergerak ataupun tidak bergerak. Dalam keadaan yang lain hak itu berupa hak-hak bukan berbentuk banda. Yusuf Musa mencoba membagi hak tersebut sebagai berikut: a. Hak kebendaan, dari segi haknya tidak berupa benda atau harta, tetapi karena hubungannya yang kuat dengan harta dinilai sebagai harta, seperti hak lewat dijalan umum atau hak pengairan. b. Hak-hak kebendaan yang menyangkut pribadi si meninggal, seperti mencabut pemberian kepada seseorang. c. Hak-hak kebendaa yang menyangkut kepada kehendak yang meninggal, seperti hak khiyar d. Hak-hak bukan berbentuk benda tetapi menyangkut pribadi seseorang seperti hak terhadap menyusukan anak Dari bermacam-macam hak di atas, yang dapat diwariskan adalah; a. Hak yang oleh ulama telah disepakati dapat diwariskan, yaitu hak-hak kebendaan yang dapat dinilai dengan harta, seperti hak lewat di jalan umum b. Hak-hak yang disepaki oleh ulama tidak dapat diwariskan, hak-hak yang bersifat pribadi, seperti hak kewalian ayah terhadap anaknya c. Hak-hak yang diperselisihkan oleh ulama tentang kebolehanya untuk diwarisi, yaitu hak yang bersifat kebendaan, seperti khiyar dan pencabutan pemberian. D Sebab-sebab Kewarisan Hukum kewarisan sebelum islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada. 1. Kewarisan Masa Jahiliyah Masyarakat jahiliyah berpola kesukuan nomaden, suka berperang, dan merampas jarahan. Kekuatan fisik menjadi ukuran di dalam sistem kewarisan. Hal ini terlihat dari ahli waris yang berhak memperoleh warisan dari keluarganya yang meninggal yaitu laki-laki, berfisik kuat dan dapat menanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperamgan. Kepentingan suku menjadi hal yang sangat di utamakan. Konsekuensinya anak perempuan dan anak laki-laki yang lemah, tidak berhak mewarisi harta peninggalan harta keluargannya. Ketentuan semacam ini telah menjadi tradisi dan mengakar kuat dalam masyarakat. Penguburan hidup-hidup anak perempuan merupakan fakta sejarah yang tidak biasap ditutu-tutupi, sehingga perempuan mendapat perlakuan yang deskrimitif. Perempuan yang seharusnya mendapat perlakuan yang sama dengan laki-laki tidak dihargai. Pada waktu ini perempuanpun dapat diwariskan, ini terlihat dalam riwayat ibn abbas: “apabila seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan seorang janda, maka ahli warisnya melemparkan di depan janda tersebut untuk mencegah orang lain mengawininya. Jika janda itu cantik segera dikawininya, jika tidak cantik ditahannya sampai meninggal dunia dan kemudian diwarisi harta peninggalannya. Dari riwayat ini terlihat bahwa perempuan tidak berbeda dengan benda atau harta peninggalan lainnya yang dapat diwariisi. Praktek pada masa jahiliyrti ni telah mendarah daging dalam masyarakat, bahkan hingga masa awal-awal islam. Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya kewarisan pada masa jahiliyah (sebelum islam datang). a. Hubungan Nasab Dengan perioritas pada laki-laki yang kuat berperang, tidak diberika warisan pada laki-laki yang lemah, bahkan perempuan sama sekali tidak mendapat warisan. Hal ini terlihat dalam peraturan orang-orang jahiliyah yang menyatakan bahwa seorang laki-laki tidak akan menerima warisan kecuali yang sanggup berperang. Tidak diberikan harta warisan kepada perempuan karna perempuan tidak bisa berperang dan tidak mampu mempertahankan kabilah. Ibn jabir telah meriwayatkan dari ibn abbas, ketika ayat faraid yang berisi tentang pembagian warisan untuk anak laki-laki, anak perempuan, orang tua (ibu-bapak), sebagian orang membencinya dan menyatakan istri diberi seperempat, anak perempuan sperdua, anak laki-laki yang masih kecil juga diberi. Padahal tidak ada seorangpun diantara mereka memerangi suatu kaum dan tidak mampu pula memperoleh rampasan perang. Apabila akan diberikan warisan kepada mereka, padahal mereka tidak memberi mamfaat sama sekali, tidak bisa menuggang kuda dan tidak mampu memerangi suatu kaum. b. Pengangkatan Anak (Tabbani) Yaitu mengangkat anak orang lain menjadi anak orang sendiri, kemudian dijadikan sebagai ahli waris. Dalam hal ini anak yang diadopsi dimasukkan dalam keluarga bapak angkatnya serta dinasabkan kepada bapak angkatnya itu. Firman allah swt yang terdapat dalam surat al-ahzab : 40 Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu[1223]., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Ayat ini melarang menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya. Anak angkat tidak boleh di anggap seperti anak sendiri sehingga tidak diberlakukan kepadanya hukum tentang anak seperti hak waris, nasab, nikah, talak dan seluruh yang berkaitan dengan mahram. Dilarangnya melakukan adopsi seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah karena mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum islam, yaitu: 1. Dinasabkannya seorang anak kepada ayah angkatnya 2. Munculnya hubungan saling mewarisi antara ayah angkat dengan anak angkatnya 3. Putusnya hubungan kekerabatan antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya c. Janji Prasetia Yaitu perjanjian kedua belah pihak yang dapat menyebabkan terjadinya kewarisan, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-qurtubi, bahwa ucapan janji prasetia itu adalah ;’’darahku darahmu juga, perjuanganku perjuanganmu juga, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mempusakai hartaku, akupun mempusakai hartamu. Sebagaimana halnya mempusakai atas dasar pertalian nasab, disyratkan pula pada janji prasetia adalah untuk saling membela jiwa dan kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang telah mengikat janji itu adalah anak-anak yang belum dewasa dan kaum wanita. 2. Kewarisan dalam Islam Menurut rasyid Ridha faktor-faktor kewarisan pada masa jahiliyah itu menyebabkan datangnya aturan kewarisan menurut al-Quran. Sebagai dasar bahwa bentuk kewarisan pada masa jahiliyah di tolak oleh al-Quran, adalah surat al-anisa ayat 7 Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan. Ayat di atas menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan, baik kecil atau sudah dewasa, kuat atau lemah adalah ahli waris dan mereka meendapat saham tanpa memandang besar kecinya jumlah harta peninggalan. Oleh karena itu hubungan nasab yang dikehendaki oleh al-Quran bukan saja laki-laki kuat, akan juga al-Quran menolak adopsi atau pengangkatan anak orang lain menjadi anak sendiri. Pada masa awal-awal islam hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Bahkan didalamnya terdapat penambahan-penambahan yang berkonotasi strategis untuk kepentingan dakwah. Tujuannya adalah merangsang ikatan persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan islam. Pertimbangannya kekuatan islam pada masa itu dirasakan masih sangat lemah, baik dari segi islam sebagai suatu bangsa ataupun dari segi pelaksanaan dan pemantapan ajaran-ajarannya yang masih dalam masa pertumbuhan. Setelah islam kuat di hati para sahabat dan umat islam, maka secara berangsur-angsur turunlah ayat kewarisan yang membatalkan sebagian apa yang telah tetap pada masa jahiliyah dan pada masa awal-awal islam. Berdasarkan ayat-ayat al-Quran dapat diketahui 3 faktor yang menyebabkan terjadinya kewarisan. E. Faktor Penyebab Kewarisan dalam Fiqih a. Kekerabatan Kekerabatan yaitu hubungan nasab antara orang yang mewariskan harta dengan orang yang mewarisi disebabkan adanya kelahiran. Hubungan kekerabatan yang berdasarkan hubungan kelahiran mencakup kepada furu al-ashlu, dan al-wahasy. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat al-anfal ayat 75 Artinya; “ Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)[626] di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Maksudnya: yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam. Untuk menyatakan hubungan nasab sebagai sebab terjadinya kewarisan terlebih dahulu pokok pangkal hubungan nasab itu, yaitu perkawinan. Untuk sahnya hubngan nasab ini tidak saja karena telah terjadi akad perkawinan, tetapi harus pula terjadi hubungan biologis antara suami istri. Meskipun demikian, yang berlaku secara umum adalah hubungan nasab ini sah tanpa terjadi hubungan biologis antara suami istri. Di samping itu hubungan nasab ini dapat juga terjadi melalui pengakuan. Apabila orang tua secara sah mengakui bahwa bayi itu adalah anaknya maka pengakuan seperti ini dapat diterima dengan syarat bahwa anak tersebut diketahui ayahnya. Dari segi umur, anak pantas menjadi anaknya, pengakuan tidak disanggah oleh anak. Tiga golongan kerabat di atas (furu, ashal, dan hawasy) dalam hubunganya dengan kewarisan merupakan ahli waris yang sama-sama berhak menerima warisan. Hanya saja apabila semua anggota ini lengkap pada saat kematian muwarisnya, maka yang berhak menerima hawarisan hanyalah anggota kerabat yang lebih kuat. Sehingga dalam hukum kewarisan islam dikenal adanya prinsip keutamaan dalam kekerabatan. Prinsip keutamaan ini dapat disebabkan oleh jarak yang lebih dekat kepada pewaris antara seseorang dengan yang lain. Umpamanya anak lebih dekat dibanding dengan cucu. Begitu pula ayah lebih dekat kepada anak dengan saudara, karena hubungan ayah dengan anak secara langsung, sedangkan hubungan saudara kepada saudaranya (si anak) adalah melalui ayah. Keutamaan ini dapat pula disebabkan oleh kuatnya hubungan kekerabatan. Umpamanya saudara kandung lebih utama dibanding saudara seayah atau seibu, karena saudara kandung mempunyai garis kekerabatan yaitu melalui ayah dan ibu. Sedangkan saudara seayah hanya melalui garis ayah saja dan saudara seibu hanya melalui garis ibu saja. Adanya keutamaan dalam hubungan kekerabatan berpengaruh terhadap keutamaan dalam hak menerima harta warisan. Ahli waris yang lebih utama lebih berhak menerima warisan dibandingkan dengan kerabat yang lebih jauh derajat kerabatnya. Seseorang yang hubungan kekerabatannya lebih jauh baru berhak mendapat warisan bila yang lebih utama sudah tidak ada. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa kekerabatan sebagai sebab kewarisan merupakan sebab yang terkuat dan utama karena hal yang mendasarinya adalah hubungan nasabiyah (hubungan pertalian darah) dan hubungan genetika yang merupakan unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak biasa dihilangkan. Tetapi apabila hubungan nasab ini dikaitkan dengan klasifikasi kekerabatan, maka tidak semua anggota kerabat yang berhak menerima harta warisan disebabkan adanya kerabat utama dan tidak utama. b. Hubungan Perkawinan Perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi bagi suami terhadap istrinya dan bagi istri terhadap suaminya . kedudukakn suami atau istri sebagai ahli waris ditetapkan secara pasti dalam al-Quran dalam surat al-nisa ayat 12 Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak ember mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.. Bila hubungan kewarisan berlaku antara yang mempunyai kekerabata karena adanya hubungan alamiah antara keduanya, maka adanya hubungan kewarisan antara suami dan istri adlah disebabka adanya hubungan hokum antar suami dan istri. Karena yang mendasari kewarisan suami dan istri adalah hubungan hukum, maka hubungan perkawinan tidak menyebabkan adanya hak kewarisan terhadap kerabat istri maupun kerabat suami. Dalam hal ini anak tiri dari suami bukanlah ahli waris bagi suami tapi hanya ahli waris bagi istri. Begitu pula anak tiri bagi istri. Dengan demikian kewarisan disebabkan oleh perkawinan hanya berlaku bagi pasangan yang melakukannya yaitu suami dan istri. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri harus memenuhi dua syarat sebagi berikut: 1. Antara suami dan istrri telah terjadi akad nikah yang sah, yaitu akad yang telah dilakukan sesuai rukun dan syarat pernikahan dan bebas dari halangan pernikahan. 2. Di antara suami dan istri itu masih berlangsung ikatan perkawinan pada saat meninggalnya salah satu pihak. Termasuk ke dalam ketentuan aini adalah bila salah pihak meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan istri masih menjalani masa iddah. Dua syarat ini harus dipenuhi dalam menentukan kewarisan suami atau istri. Perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut baik mengenai rukun maupun syarat atau terdapat pada suatu halangan, maka akad perkawinan tersebut menjadi akad yang tidak sah. Akad yang tidak sah dalam segala bentuknya, tidak menyebabkan adanya hubungan hukum antara laki-laki dan perempuan, termasuk hubungan perkawinan. Begitu juga dengan perkawinan yang telah putus menyebabkan tidak berhaknya suami atau istri untuk saling mewarisi. c. Memerdekakan Budak Wala’ al-ataqah adalah suatu kekerabatan yang disebabkan oleh adanya pemerdekaan budak oleh tuannya. Diberikan hak mewarisi kepada orang yang membebaskan seorang hamba sahaya, didasarkan kepada hadits Rasul SAW yang berbunyi: عن نافع عن ابن عمرعن النبى صلى الله عليه وسلم : قال انما الولأ (رواه البخ رى) لمن الولأ لمن اعتف Dari nafi dari ibn umar dari nabi SAW, beliau bersabda : hak wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.(hadits riwayat bukhari) Dari hadits ini dapat dipahami bahwa tidak ada hak wala’ kecuali untuk orang yang memerdekakannya. Apabila budak yang telah dimerdekakan itu meninggal dunia maka yang memerdekakannya menjadi ahli warisnya. F.ِ Azas-Azas Kewarisan dalam Islam 1. Azas Ijbari Secara etimologi ijbari berarti “paksaan”. Secara terminology dalam hubungannya dengan hukum kewarisan berarti “ peralihan harta dari seseorang “ yang telah mati kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Menurut amir Syarifuddin adanya azas ijbari dalam hukum kewarisan islam dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih dan dari segi kepada siapa harta itu beralih. a. Ijbari dari segi peralihan harta Sejumlah harta yang ditinggalkan pewaris didasari atau tidak didasari sudah terdapat dari segi masing-masing ahli waris dan harta itu secara otomatis akan beralih kepada masing-masing ahli waris. Hal ini dapat dipahami dari surat an-nisa’ ayat 7 Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut ahagian yang Telah ditetapkan. Adanya azas kewarisan dalam hukum islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu segi peralihan harta, segi jumlah harta yang beralih dan segi kepada siapa harta itu beralih. 1. Ijbari dari segi jumlah harta yang beralih Ijbari dari segi jumlah peralihan harta berarti bahwa jumlah harta yang beralih kepada ahli waris sudah tertenu bagiannya masing-masingnya, oleh sebab itu baik pewaris maupun ahli waris tidak berhak menambah atau menguranginya ataupun menentukan lain. Hal ini dapat dipahami dari kata “ mafrudhah” yang artinya menurut etimologi ditentukan atau diperhitungkan. 2. Ijbari dari segi kepada siapa harta itu beralih Orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris itu sudah ditentukan secara pasti sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusiapun yang dapat mengubahnya, termasuk pewaris atau ahli waris sendiri, maupun hakim dan penguasa sekalipun tidak berhak untuk menentukan lain. 3. Ijbari dari segi siapa yang menerima peralihan harta Orang-orang yang akan menerima harta warisan sudah ditentukan, yakni yang mempunyai hubungan nasab dan hubungan perkawinan. Ketentuan-ketentuan ini dapat dilihat dalam pengelompokan-pengelompokan ahli waris dalam surat an-nisa ayat 11, 12, dan 176. Ketentuan yang sudah pasti tersebut tidak dapat di ubah dan digantikan kepada siapapun untuk menempati posisi yang telah ditetapkan. 2. Azas Bilateral Dalam hukuum kewarisan islam azas bilateral seseorang yang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat dari garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat dari keturunan perempuan. Dari azas bilateral yang dianut oleh hukum kewarisan islam ini dapat dipahami dari firman Allah surat an-nisa ayat 7 sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seorang anak lak-laki mendapat bagian dari peninggalan ayah dan ibunya, begitu juga dengan anak perempuan, dia berhak atas peninggalan kedua orang tuanya. 3. Azas Individual Hukum kewarisan islam mengajarkan kepada kita bahwa hukum kewarisan itu juga berazaskan individual. Yang dimaksud dengan azas individual tersebut dalam hubungannya dengan hukum kewarisan adalah : bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tententu yang dapat dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada masing-masing ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Adapun maksud dari dimiliki secara perorangan ini adalah bahwa setiap harta yang diperdapat dari kewarisan ini dipunyai secara penuh dan dia berhak dan berkuasa atas harta tersebut tanpa terikat dengan ahli waris atau orang lain. Azas individual hukum islam ini diperoleh dari aturan ayat al-Quran mengenai pembagian harta warisan ayat 7 surat an-nisa menjelaskan secara garis besar tentang hak laki-laki untuk menerima warisan dari orang tua atau keluarga dekatnya, begitu juga halnya dengan anak perempuan. Selanjutnya pada surat an-nisa ayat 12, 12, 176 menjelaskan secara rinci hak masing-masing ahli waris menurut bagian tertentu dan pasti. Dalam bentuk yang tidak tentu pun seperti bagian anak laki-laki bersama dengan anak perempuan seperti disebutkan pada ayat 11 dan bagian saudara laki-laki bersama dengan saudara perempuan dalam ayat 176, yang dijelaskan perimbangan penbagian mereka, yaitu satu laki-laki sama dengan bagian dua orang bagian perempuan. 4. Azas Keadilan Berimbang Pengertian “adlu” dikaitkan dengan materi khususnya yang berhubungan dengan hukum kewarisan adalah “keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara umum dapat dikatakan bahwa laki-laki mendapat bagian dua kali bagian perempuan, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat an-nisa ayat 11 Artinya: “Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.. Hak ini ditetapkan karena di atas pundak laki-laki terpikul tanggung jawab yang ganda, yaitu terhadap dirinya dan terhadap keluarganya sendiri yang disana juga termasuk perempuan itu sendiri. Jadi bila dikaitkan pendapatan yang diperoleh dan tanggung jawab laki-laki, maka pihak lai-laki akan merasakan manfaat yang sama sperti yang dirasakan perempuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Amir Syarifuddin dalam hubungannya dalam hukum kewarisan, azas keadilan berimbangan yang dianut oleh hukum kewarisan islam itu dapat dilihat dai dua segi: 1. Keseimbangan antara hak dan kewajiban Yang pertama dapat dilihat dari pembagian laki-laki dan perempuan, bahwa keduanya mendapat hak yang sama untuk mendapatkan harta warisan, ini adalah suatu keadilan. Tetapi mareka tidak mendapat bagian yang sama, ini adalah suatu keseimbangan yang diajarkan oleh islam sebab tanggung jawab perempuan. Itulah sebab maka Allah menetapkan agar bagiannya lebih banyak. Yang kedua dapat dilihat dari segi besarnya tanggung jawab pewaris kepada ahli waris. Dalam hal ini dapat dilihat pembagian antara anak dan orang tua (ayah dan ibu) bahwa pembagian yang diperoleh anak lebih besar dari yang diperoleh orang tua pewaris sendiri. Ini adalah keadilan dan keseimbangan yang hakiki menurut islam. Sebabnya adalah bahwa seorang laki-laki diberi tanggung jawab yang utama oleh agama terhadap anak dan istrinya, hal ini akan dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat. Sedangkan terhadap kerabat yang lain, tanggung jawab seseorang hanya berbentuk tambahan dan tidak utama. Jadi seorang laki-laki atau seorang ayah lebih bertanggung jawab kepada anak dan istrinya dari pada kepada ayah dan ibunya atau saudara dan kerabatnya yang lain. Sepantasnyalah bagian anak laki-laki lebih besar dari bagian orang tua pewaris sendiri. 2. Keseimbangan Antara yang Diperoleh dengan Kegunaan dan Keprluan Keadilan berimbang jika disangkutkan dengan materi khususnya yang berhubungan dengan hukum kewarisan adalh keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaanya. Dengan demikian azas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dan kewajiban yang dipikulnya. Dalam sistem kewarisan islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu bagian masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan posisi masing-masingnya. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya. Tanggung jawab ini merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Terhadap kerabat lain, tanggung jawab seorang laki-laki juga ada berdasarkan hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus yang ditunaikan. 5. Azas kewarisan semata akibat kematian Hukum islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain melalui kewarisan, hanya berlaku setelah kematian pewaris. Maka semua bentuk peralihan sebelum kematian, baik secara langsung atau setelah meninggal yang belum dilakukan diwaktu hidupnya, atau perjanjian diwaku masih hidup yang dapat berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar