Selasa, 26 Oktober 2010

Pendahuluan Peminangan

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan fitrah manusia yang pasti akan dilalui oleh setiap anak manusia, Insya Allah. Pernikahan merupakan proses suci yang menjadi bagian dari aktivitas mu’amalah yang bernilai ibadah. Hal yang sangat erat kaitannya dengan pernikahan adalah peminangan. Dalam terma Islam peminangan disebut dengan Khithbah. Khithbah merupakan gerbang utama memasuki pintu pernikahan atau dalam istilah literatur fiqh disebut dengan مُقَدَِّمَةُ النِكاَحِ (pengantar atau pendahuluan nikah). Khithbah berasal dari kata خطِب- يخطَب-خِطْبَةً yang secara literal berarti menyampaikan dan secara terminologis berarti meminta seorang wanita untuk menjadi istri dengan cara yang sudah dikenal masyarakat. Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim mengemukakan bahwa peminangan atau khitbah (خِطْبَة) adalah menyampaikan keinginan untuk menikah dengan seorang wanita dengan cara yang sudah banyak dikenal masyarakat. Jika permintaan meminangnya dikabulkan, maka kedudukannya tidak lebih sebagai janji untuk menikah. Meminang bukan syarat sahnya pernikahan. Ia hanya sebagai sarana menuju pernikahan. Jadi, jika pernikahan berlangsung tanpa peminangan, maka pernikahan tersebut dinilai sah. Bahkan menurut jumhur ulama hukumnya hanya boleh. Pendapat jumhur ini didasarkan pada firman Allah Swt. Dalam surat Al-Baqarah ayat 235: Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu secara sindiran. Karena meminang hanya merupakan pendahuluan menuju sebuah akad pernikahan, maka hal ini tidak membawa konsekwensi apapun seperti halnya dalam pernikahan, misalnya berdua-duaan dengan pinangan atau bahkan menyentuhnya, karena hubungan keduanya masih dianggap sebagai hubungan antara Ajnabiy dan Ajnabiyyah (asing atau tidak halal) sampai berlangsungnya akad pernikahan. Dalam agama Islam sebelum terjadinya akad pernikahan, komunikasi antara laki-laki dan wanita diatur sebagai berikut: 1.Dilarang berdua-duaan dengan orang lain (asing) dengan tidak disertai oleh muhrim. Berdua-duaan yang dimaksud meliputi duduk berdua-duaan, atau bepergian tanpa disertai mahram. Hal ini dijelaskan dalam hadits dari Jabir yang diriwayatkan oleh Ahmad seperti yang dikutip oleh al-Syaukani dalam Nailul Authar : مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِِ الْأَخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيطانُ. Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah berdua-duaan dengan wanita yang tidak disertai oleh muhrim dari perempuan itu. 2.Wajib menjaga pandangan. Yang dimaksud dengan menjaga pandangan disini adalah memelihara mata dari melihat hal-hal yang diharamkan dalam agama termasuk memandang kepada wanita yang bukan muhrim secara sengaja atau memandang dengan disertai nafsu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat An-Nur (23) ayat 30: Artinya: Katakanlah kepada kepada laki-laki beriman agar mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Hal itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu perbuat. 3.Wajib menutup aurat. Aurat wanita dalam pandangan jumhur ulama adalah seluruh anggota badan selain wajah dan telapak tangan. Hal ini didasarkan pada hadits dari ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud seperti yang dikutip oleh Muhammad Ali al-Syaukani : أنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي الله عليه وسلَّم وعليها ثِيابٌ رقاقُ فَأعْرَضَ عَنْهَا وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إنَّ الْمَرْءَةَ إذَا بَلَغَتْ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ لَهَا أنْ يُرَي مِنْهَا إلَّا هَذَا وَهَذا وَأَشَارَ إلَي وَجْهِهِ وَكَفّيْهِ Artinya: Bahwa Asma’ Binti Abu Bakr menemui Rasulullah Saw dengan berpakaian tipis. Maka beliau berpaling dari padanya seraya berkata: Wahai Asma’ apabila seorang perempuan sudah mulai haid (baligh) maka tidak layak terlihat dari bagian tubuhnya selain ini dan ini (beliau mengisyaratkan pada wajah dan dua telapak tangannya). Sedangkan aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Hal ini didasarkan pada hadits dari ‘Amr bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Daruquthni seperti yang dikutip oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim : فَإنَّ تَحْتَ السُّرَّةِ إلي رَكْبتِهِ مِنَ العَوْرَةِ Artinya: Sesungguhnya anggota tubuh dibawah pusar hingga lutut adalah aurat. 4.Wajib menjaga kemaluan dan kehormatan. Hal ini sangat ditegaskan oleh Allah Swt. dalam an-Nur ayat 30: Artinya: Dan hendaklah mereka memelihara kemaluan mereka karena hal itu lebih suci bagi mereka 5.Dilarang menyentuh yang bukan muhrim. Karena hal ini sangat diharamkan oleh Rasul Saw dalam hadits dari Ma’qil bin Yasar yang diriwayatkan oleh al-Thabraniy seperti yang dikutip oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim : لَأنْ يُطْعَنَ فَي رَأسِ أحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأةً لا تحِلُّ لَهُ Artinya: Sungguh kepala salah seorang kamu ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Untuk keperluan meminang ada beberapa aturan main dalam Islam. Adapun aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut: 1.Boleh melihat orang yang akan dipinang. Apabila seorang laki-laki muslim sudah bertekad untuk menikah dan mengarahkan niatnya untuk meminang seorang wanita tertentu, maka Rasulullah Saw sangat menganjurkan untuk melihat wanita yang akan dipinang tersebut, sehingga selamat dari kekeliruan atau terjatuh kedalam hal yang tidak diinginkan. Hal ini dapat kita temukan dalam hadits hasan dari Jabir RA. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi seperti yang dikutip oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim : إذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَقدَرَ أَنْ يَرَي مِنْهَا بَعْضَ مَا يَدْعُوْهُ إِلَيْهَا فَلْيَفْعَلْ Artinya: Jika salah seorang dari kalian meminang seorang wanita lalu ia mampu melihat darinya sesuatu yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah. Adapun mengenai batasan yang boleh dilihat ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama antara lain; Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan satu pendapat dari Hanabilah menyatakan bahwa tidak boleh melihat kecuali wajah dan telapak tangan. Mereka mengatakan bahwa wajah adalah pusat kecantikan, pusat perhatian dan lambang kecantikannya. Sementara tangan menunjukkan kesuburan badan. Adapun dalil yang mereka kemukakan adalah hadits dari ‘Aisyah yang dirawikan oleh Abu Dawud: أنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي الله عليه وسلَّم وعليها ثِيابٌ رقاقُ فَأعْرَضَ عَنْهَا وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إنَّ الْمَرْءَةَ إذَا بَلَغَتْ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ لَهَا أنْ يُرَي مِنْهَا إلَّا هَذَا وَهَذا وَأَشَارَ إلَي وَجْهِهِ وَكَفّيْهِ Artinya: Bahwa Asma’ Binti Abu Bakr menemui Rasulullah Saw dengan berpakaian tipis. Maka beliau berpaling dari padanya seraya berkata: Wahai Asma’ apabila seorang perempuan sudah mulai haid (baligh) maka tidak layak terlihat dari bagian tubuhnya selain ini dan ini (beliau mengisyaratkan pada wajah dan dua telapak tangannya). Ulama Hambaliyyah dalam pendapatnya yang kuat membolehkan melihat apa yang biasa tampak, seperti leher, kedua tangan dan kedua kaki. Alasan mereka adalah bahwa Nabi Saw membolehkan melihat wanita itu tanpa sepengetahuannya sehingga dapat diketahui bahwa beliau mengizinkan utnuk melihat seluruh tubuh yang biasa tampak. Al-Auza’i berpendapat bahwa boleh melihat bagian tubuh yang ingin dilihat kecuali aurat (besar). Sedangkan Ibnu Hazmin atau yang terkenal dengan pembela mazhab al-Zhahiri dan pendapat ketiga dari Ahmad menyatakan bahwa boleh melihat seluruh tubuh wanita. Alasannya adalah berdasarkan zhahir sabda Nabi Saw diatas: Lihatlah kepadanya. Abu Malik Kamal bin al-Sayyid, seorang ulama dari Mesir memberikan komentarnya mengenai hal ini yakni dalam rangka membuat hati tentram, jika laki-laki datang meminang seorang wanita, maka si wanita boleh menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya, sebagai yang dikatakan oleh jumhur. Adapun jika si laki-laki datang secara sembunyi-sembunyi untuk melihatnya, maka ia boleh melihat dari si wanita itu apa yang bisa mendorongnya untuk menikahinya. Tetapi ia tidak boleh memintanya untuk menampakkan lebih dari wajah dan telapak tangan. Namun ia boleh meminta penjelasan selain itu, yang diinformasikan oleh ibunya atau saudara perempuannya, atau ia datang secara sembunyi-sembunyi untuk melihatnya. Hal ini tidak bertentangan dengan syari’at karena sahabat Nabi Jabir RA sebagai yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, setelah mendapat anjuran dari Nabi Saw untuk melihat wanita yang ingin dipinangnya, maka ia segera mengendap-endap memperhatikan seorang wanita dari Bani Salamah sehingga ia mendapati sesuatu yang mendorongnya untuk menikahi wanita tersebut. 2.Dilarang berdua-duaan dengan pinangan tanpa disertai dengan mahram. Karena status dalam pinangan masih dianggap sebagai hubungan antara ajnabiy dan ajnabiyyah, maka berdua-duaan dengan pinangan tanpa disertai oleh mahram adalah dilarang baik itu di rumah sendiri atau di tempat sepi. Semua pihak, baik ayah, peminang ataupun wanita yang dipinang tidak boleh memperlonggar rukhshah (keringanan) dalam hal peminangan sehingga membiarkan laki-laki atau wanita asing untuk pergi berduaan ke tempat-tempat hiburan, rekreasi, dan pasar-pasar atau tempat tertentu tanpa disertai seorang pun dari mahramnya, sebagaimana yang dilakukan oleh tradisi Barat saat ini. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits dari Jabir yang diriwayatkan oleh Ahmad seperti yang dikutip oleh al-Syaukani dalam Nailul Authar : عَنْ جَابرٍ أنَّ النَّبي صلَّي الله عليه وسلَّم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأخِرِ فَلَا يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإنَّ ثَالِثَهَا الشَّيطانُ. Artinya: Dari Jabir Bahwa Rasulullah Saw bersabda: siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah berdua-duaan dengan seorang wanita tanpa mahram, karena yang ketiganya adalah syetan. 3.Dilarang menyentuh wanita yang dipinang, termasuk berjabat tangan meskipun aman dari syahwat. Hal ini disebabkan oleh belum adanya ikatan halal diantara keduanya. Rasul Saw bersabda dalam hadits dari Ma’qil bin Yasar yang diriwayatkan oleh al-Thabraniy seperti yang dikutip oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim : لَأنْ يُطْعَنَ فَي رَأسِ أحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأةً لا تحِلُّ لَهُ Artinya: Sungguh kepala salah seorang kamu ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. 4.Dilarang meminang pinangan orang lain. Jika seorang muslim meminang seorang wanita, maka tidak halal bagi orang lain untuk meminang wanita itu. Hal ini dimaksudkan agar tidak menyakiti hati saudara kita sesama muslim sehingga silaturrahmi menjadi rusak kecuali peminang itu mengizinkan untuk meminangnya atau meninggalkannya. Dalam hal ini terdapat sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Umar : لا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَي خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّي يَتْرُكََ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ يأْذَنُ لَهُ Artinya: Janganlah seorang kamu meminang pinangan saudaranya sampai ia meninggalkan atau mengizinkanya untuk meminangnya. Berkaitan dengan kondisi dari das solen diatas, telah terjadi banyak hal yang berbeda dengan tuntutan syari’at Islam, khususnya di lingkungan tempat tinggal penulis yaitu Nagari Talaok. Sebagai misal adalah seorang laki-laki yang membawa seorang wanita pinangan tidak menjadi persoalan bagi pihak keluarga laki-laki atau pun si perempuan baik sesudah maupun sebelum meminang. Alasan mereka sederhana yaitu asal pandai menjaga diri. Khusus berkaitan dengan perilaku selama masa peminangan seorang laki-laki yang membawa seorang anak gadis untuk keperluan tertentu meskipun itu ke tempat yang sunyi tidak menjadi persoalan dengan alasan bahwa mereka juga akan menjadi suami istri. Dapat dibayangkan apa kira-kira yang akan terjadi dengan sikap dan perilaku seperti. Atas dasar kenyataan diatas penulis sangat tertarik melakukan penelitian dan pengkajian terhadap persoalan yang muncul dalam masyarakat khususnya permasalahan peminangan, maka penulis berniat akan menulis skripsi yang berjudul: Perilaku Selama Masa Peminangan Ditinjau Dari Hukum Islam (studi kasus di nagari talaok tahun 2008-2009). B.Rumusan dan Batasan Masalah Merujuk pada uraian di atas yang menjadi pokok rumusan dalam pemaparan ini adalah: 1.Bagaimanakah perilaku-perilaku dalam masa peminangan di Nagari Talaok? 2.Bagaimanakah pandangan Islam terhadap perilaku-perilaku dalam masa peminangan di Nagari Talaok? Adapun batasan masalah adalah bahwa dalam skiripsi ini hanya membahas yang berkaitan dengan perilaku-perilaku selama masa peminangan di Nagari Talaok yang terjadi pada tahun 2008-2009. C.Penjelasan Judul Untuk memudahkan memehami maksud judul dari penelitian ini, penulis akan menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul tersebut yaitu: Perilaku Tindakan, perbuatan, kegiatan termasuk didalamnya sikap. Masa Rentang waktu yang mencakup proses Peminangan Meminta seorang wanita untuk menjadi istri dengan cara yang sudah dikenal masyarakat. Tinjauan Berasal dari kata tinjau, artinya melihat, memeriksa, memandang. Hukum Islam Rangkaian kata Hukum Islam, para ulama sering mengidentikan dengan hukum Syar’i menurut ulama Ushul fiqh adalah tuntutan Syara’ (titah Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan atau memilih berupa tuntutan. Sedangkan menurut Fuqaha adalah: bekas atau (akibat) yang di kehendaki oleh tuntunan Syara’ (titah Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf seperti haram, wajib dan mubah. Yang penulis maksud dari judul di atas adalah bagaimana pandangan hukum Islam terhadap perilaku-perilaku selama masa peminangan di Kenagarian Talaok. D.Tujuan dan Kegunaan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.Untuk mengetahui bagaimana perilaku dalam masa peminangan di Nagari Talaok. 2.Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam perilaku selama masa peminangandi Nagari Talaok. Kegunaan dari penulisan ini adalah: 1.Untuk menambah cakrawala dan wawasan penulis dalam bidang Hukum Islam 2.Sebagai sumbangan pemikiran kepada umat Islam Khususnya tentang masalah yang dibahas 3.Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi guna mendapatkan gelar serjana S1 dalam Fakultas Syari’ah STIS MA Bayang pada Jurusan Ahwal al-Syakhshiyah. E.Metode Penelitian 1.Jenis Penelitian. Jenis penelitian yang penulis lakukan ini tergolong kepada penelitian hukum sosiologis atau Socio-Legal Research yaitu melakuan kajian-kajian diskriptif yang luas dan berlandasan hukum yang kokoh yang memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkungan masyarakat setempat. Dengan metode ini penulis dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara Socio-Cronological, menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran masyarakat setempat dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat yang didasarkan pada hukum Islam. 2.Lokasi penelitian Penelitian ini di laksanakan di Kenagarian Talaok dan nagari tersebut di jadikan lokasi penelitian dengan alasan; pertama, perilaku peminangan banyak terjadi di kalangan masyarakat tersebut yang telah melangar Hukum Islam. Kedua penulis sendiri berdomisili di Nagari Talaok sehingga situasi dan kondisi masyarakat setempat bisa penulis pahami dengan baik. 3.Sumber Data a.Populasi Adapun yang menjadi populasi dalam Penelitian ini adalah seluruh pasangan suami istri yang baru menikah dan calon mempelai yang akan menikah di Nagari Talaok dengan jumlah populasi 284 pasangan. b.Sampel Adapun sampel dalam penulisan ini adalah bagian dari populasi yang ada, maka penulis menetapkan 20 % dari 284 pasangan yaitu 56 orang.. Sampel tersebut penulis ambil secara acak (Random Sampling) sebagai pertimbangan efesiensi waktu dan geografis daerah. 4.Alat Pengumpulan data Untuk mendapatkan data, penulis menggunakan wawancara bebas tak terstruktur yakni berhadapan dan dialog secara langsung dengan orang yang akan di wawancarai secara tak terjadwal guna memperoleh data yang di perlukan dengan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan demikian, penulis mencari data dengan melibatkan unsur-unsur sebagai berikut: 1)Responden Utama, meliputi pihak-pihak yang melakukan peminangan pada tahun 2008-2009. 2)Responden Tambahan a)Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) b)Niniak Mamak. c)Tokoh masyarakat. 5.Analisis data Analisa data merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari tahapan lain, karena analisa merupakan proses pengolahan data dalam penelitian ini sudah mulai sejak memperoleh data awal di lapangan dan bisa dilakukan berulang sesuai dengan temuan berikutnya. Dalam menganalisa data yang ada peneliti menyimpulkan baik data yang primer maupun data yang skunder. Menganalisa dan mempelajari dari data yang ditemukan di lapangan dan membandingkannya dengan teori yang ada serta menganalisa dengan teori yang ada. Dengan demikian, penulis akan berusaha mendeskripsikan kondisi objektif penelitian yang akan dilakukan, antara lain dengan membandingkan hasil wawancara dengan teori yang ada, selanjutnya akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: klasifikasi, redaksi, interpretasi dan menarik kesimpulan. F.Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam skripsi ini penulis membagi secara sistematis kepada empat bab sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah dan batasan masalah, penjelesan judul, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II PEMINANGAN DAN PERILAKU DALAM MASA PEMINANGAN MENURUT HUKUM ISLAM, ini berisi tetang pengertian Peminangan, dasar hukum Peminangan, Syarat-syarat Peminangan, Perilaku pada masa Peminangan, tujuan Peminangan. BAB III GAMBARAN UMUM NAGARI TALAOK, berisi tentang letak geografis Nagari Talaok, penduduk, dan mata pencarian, pendidikan, agama dan sosial budaya BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERILAKU SELAMA MASA PEMINANGAN DI NAGARI TALAOK, dalam Bab ini penulis menguraikan tentang pelaksanaan dan problematika perilaku pada masa Peminangan di Nagari Talaok serta pandangan hukum Islam terhadap perilaku selama masa peminangan di Nagari Talaok. BAB V PENUTUP, berisi tentang kesimpulan dan saran-saran. DAFTAR BIBLIOGRAFI Al-Qur’anul Karim. Sunan Abu Dawud. Ali bin Muhammad al-Syaukani, Muhammad. Nailul Authar. (TP: Dar al-Fikri, TT). Jilid III. Juz VI. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Al-Hafizh. Bulughul Maram. (Surabaya: Toko Kitab, TT). Cet. II. Kamal bin Sayyid Salim, Abu Malik. Fiqh Sunnah untuk Wanita (Terj. Asep Sobari, Lc.). (Jakarta: Al-I’tishom, 2009). Cet III. _____________Shahih Fiqh Sunnah (Terj. Abu Ihsan & Amir Hamzah). (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 1429/2008). Jilid IV. Cet. I. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh al-Nashir al-Majlis al-al-A’la al-Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah. (Jakarta:Al-Majlis al-A’lalid da’watil Islami, 1972). Cet ke-9. Qaradhawi,Yusuf. Halal dan Haram (Terj. oleh Drs. Abu Sa’id Falahi). (Jakarta: Rabbani Press, 1985). Cet I. Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. (Kairo: Dar al-Fikri, 1403/1983). Jilid II. Cet. IV. al-Shan’ani. Subulussalam. (Bandung: Dahlan, TT). Juz III. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Identifikasi. (Jakarta, CV Harapan Baru:1964).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar